Total Tayangan Halaman

Kamis, 31 Agustus 2017

ASAL MULA NEGERI AMAHUSU




Dahulu kala di Banda ada seorang raja yang bernama Lawataka dan isterinya Mulika Nyaira Banda Toka. Keduanya mempunyai 7 orang anak, satu diantaranya perempuan yang bernama Boiratan. Mereka juga memelihara anak lelaki raja Sahulau. Namun ketika Raja Sahulau itu meninggal dunia maka putranya itu kembali ke Seram dan memerintah menggantikan ayahnya.
          Tiada berapa lama kemudian puteri Boiratan mengandung. Keenam saudara laki-lakinya menjadi marah dan saling menuding bahwa ada di antara mereka yang berbuat onar dengan adik perempuan mereka sebab tidak ada orang lain yang hidup bersama mereka, karena tidak ada yang mengaku maka mereka bersabar menunggu kelahiran bayi tersebut.
          Pada waktu bayi sudah berumur satu tahun dan mulai merayap, maka pembuktian dilakukan. Dibuat sebuah lingkaran yang mengelilingi bayi itu dan keenam saudara laki-laki Boiratan berdiri mengelilingi bayi itu sambil masing-masing memegang parang. Maksudnya bilamana si bayi merayap menghampiri seorang dari mereka dan memegangnya maka bayi itu harus dipotong.
          Terdengarlah tangisan yang menyayat hati, “Kaka ... kaka eeee. Jangan bunuh anakku. Ayah … tolonglah aku jangan biarkan mereka potong anakku, biarkan aku menanggung malu keluarga ini … biarlah aku pergi bersama anakku dari sini. Ayah ibu toloooong …. Perutku merana menahan pilu … ibu selamatkan anakku …” (tangis Boiratan). Keenam saudaranya tetap melaksanakan pembuktian tersebut, ternyata si bayi itu hanya berputar-putar di dalam lingkaran dan tidak merayap mendekati dan memegang salah seorang di antara mereka. Dengan demikian terbukti bahwa mereka berenam tidak bernoda dan bersalah maka bayi tersebut dibiarkan hidup.
          Putri Boiratan tak tahan lagi untuk tinggal bersama saudara-saudaranya. Disiapkanlah gusepa atau padewakang, segera dia bersama anaknya berlayar meninggalkan saudara-saudaranya. Sinisnya sang mentari, tatapan dingin sang rembulan bahkan garangnya deru ombak laut Banda tidak bisa menahan Boiratan bersama anaknya untuk meninggalkan Lawataka. Mereka berangkat ke negeri Sahulau untuk menemui raja Sahulau yang adalah ayah si anak. Tahukah teman-teman terdapat di pulau manakah negeri Sahulau? … Benar di Pulau Seram tepatnya Kabupaten Maluku Tengah.
          Selang beberapa lama kemudian mereka berdua tiba di negeri Sahulau dan bertemu dengan ayah dari anak tersebut. Tuanku raja, inilah anakmu, aku berharap kita akan kawin dan hidup bahagia selamanya (kata Boiratan), akan tetapi raja menolak menjadikan Boiratan sebagai isterinya. Maafkan aku Boiratan, kau tidak pantas kawin denganku, kekuasaanku lebih besar dari kekuasaan ayahmu Lawataka di Banda. Sedih dengan perkataan raja Sahulau yang adalah ayah dari anak Boiratan, kemudian Boiratan bersama anaknya menuju padewakang atau gusepa miliknya. Boiratan dengan anaknya kembali berlayar dengan Padewakang dan akhirnya mereka tiba pada suatu tempat dekat negeri Latuhalat yang bernama “nama”. Kemudian menyusuri pantai melewati tanjung Nusaniwe, labuhan Seilale dan Eri.
          Sampailah mereka pada suatu tempat yang bernama batu pasang-pasang atau batu anyo-anyo, kemudian mereka naik ke darat menelusuri semak-semak dan sampailah mereka berdua di sebuah bukit antara Gunung Nona dan Gunung Tola. Di tempat ini Boiratan menikam bambu yang dibawanya, bambu yang ditancapkan putri Boiratan tumbuh hingga saat ini, bambu tersebut disebut bambu suanggi. Tempat inilah yang disebut Armahusi yang adalah negeri lama Amahusu. Boiratan adalah pendiri negeri lama Armahusi dan bergelar Boiratan Timbang Tanah.
          Ternyata Armahusi tidak terlalu aman untuk ditempati, banyak musuh yang hendak menyerang Armahusi. Mereka pun meminta bantuan dari Arusi suatu perkampungan di Nusaniwe, dikirim Kapitan Sounusa (Kapitan dari Mata Rumah Maniake) dan Kapitan Samajotu (Kapitan dari Mata Rupah Soplanit). Perang pun terjadi, musuh dapat dihalau, saat sampai di sebuah bukit karang, mereka kelelahan dan kehausan. Anak Boiratan menikam tombaknya dan keluar air dari celah-celah batu karang, tempat itu dikenal dengan nama “Wanitu” yang artinya air setan.
          Setelah semua musuh dapat dikalahkan mereka kembali lagi ke negeri lama Armahusi kemudian anak Boiratan yakni Boikiki diakui para Kapitan untuk menjadi Raja atau latu di Armahusi. Anak Boiratan kemudian kawin dengan anak perempuan Kapitan Leinussa (mata rumah Mainake) dan bertambah banyak penghuni negeri lama Armahusi. Ingin mencari wilayah baru untuk mereka dan keturunannya. Boikiki bersama istrinya berjalan turun menyusur ke pantai dan berdiam di antara Waiila dan Waipia. Mereka memakai gelar Latuwakang artinya raja yang datang dengan padewakang (gusepa). Tempat dimana mereka tinggal sampai saat ini dikenal dengan nama Amahusu. Ama berarti “Bapak” dan Husu berarti “berjalan menyusur” atau “mencuri”. Dengan demikian Amahusu dapat diartikan sebagai tempat yang ditemui atau dimukim.
          Pada suatu saat ketika kapitan Sounusa sedang menjalankan tugasnya menjaga keamanan di negeri Amahusu. Kapitan Sounusa bertemu dengan seorang kapitan dari negeri Hatalae bernama Niniahum. Perang tanding pun terjadi dan setelah lama berperang tidak ada yang menang akhirnya kedua kapitan sepakat berdamai. Ternyata kapitan dari Hatalae ini adalah seorang wanita. Kedua kapitan ini bertemu dengan anak gadis dari seorang Kapitan Negeri Soya bernama Ilang Trete. Gadis ini dibunuh oleh Kapitan Sounusa dan keduanya meminum darah dari gadis tersebut sebagai tanda persaudaraan atau pela sehingga antara orang Amahusu dan Hatalae di larang kawin. Dalam ikatan pela ini pihak Hatalae sebagai “Silawanabessy” yang mewakili unsur perempuan, pihak Amahusu sebagai Armalakabessy yang mewakili unsur laki-laki. Selain dengan Hatalae, negeri Amahusu juga mempunyai hubungan persaudaraan dengan negeri Laha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ASAL MULA DANAU TAPALA

Pulau Seram yang terletak di daerah Kabupaten Maluku Tengah, merupakan salah satu dari dua pulau besar di kawasan ini. Pulau ini terke...

Popular Posts