Dahulu kala di Banda ada seorang raja yang bernama Lawataka dan isterinya Mulika Nyaira Banda Toka. Keduanya mempunyai 7 orang anak, satu diantaranya perempuan yang bernama Boiratan. Mereka juga memelihara anak lelaki raja Sahulau. Namun ketika Raja Sahulau itu meninggal dunia maka putranya itu kembali ke Seram dan memerintah menggantikan ayahnya.
Tiada berapa lama kemudian puteri
Boiratan mengandung. Keenam saudara laki-lakinya menjadi marah dan saling
menuding bahwa ada di antara mereka yang berbuat onar dengan adik perempuan
mereka sebab tidak ada orang lain yang hidup bersama mereka, karena tidak ada
yang mengaku maka mereka bersabar menunggu kelahiran bayi tersebut.
Pada waktu bayi sudah berumur satu
tahun dan mulai merayap, maka pembuktian dilakukan. Dibuat sebuah lingkaran
yang mengelilingi bayi itu dan keenam saudara laki-laki Boiratan berdiri
mengelilingi bayi itu sambil masing-masing memegang parang. Maksudnya bilamana
si bayi merayap menghampiri seorang dari mereka dan memegangnya maka bayi itu
harus dipotong.
Terdengarlah tangisan yang menyayat
hati, “Kaka ... kaka eeee. Jangan bunuh
anakku. Ayah … tolonglah aku jangan biarkan mereka potong anakku, biarkan aku
menanggung malu keluarga ini … biarlah aku pergi bersama anakku dari sini. Ayah
ibu toloooong …. Perutku merana menahan pilu … ibu selamatkan anakku …” (tangis Boiratan). Keenam saudaranya
tetap melaksanakan pembuktian tersebut, ternyata si bayi itu hanya
berputar-putar di dalam lingkaran dan tidak merayap mendekati dan memegang
salah seorang di antara mereka. Dengan demikian terbukti bahwa mereka berenam
tidak bernoda dan bersalah maka bayi tersebut dibiarkan hidup.
Putri Boiratan tak tahan lagi untuk
tinggal bersama saudara-saudaranya. Disiapkanlah gusepa atau padewakang, segera
dia bersama anaknya berlayar meninggalkan saudara-saudaranya. Sinisnya sang
mentari, tatapan dingin sang rembulan bahkan garangnya deru ombak laut Banda
tidak bisa menahan Boiratan bersama anaknya untuk meninggalkan Lawataka. Mereka
berangkat ke negeri Sahulau untuk menemui raja Sahulau yang adalah ayah si
anak. Tahukah teman-teman terdapat di pulau manakah negeri Sahulau? … Benar di
Pulau Seram tepatnya Kabupaten Maluku Tengah.
Selang beberapa lama kemudian mereka
berdua tiba di negeri Sahulau dan bertemu dengan ayah dari anak tersebut. Tuanku raja, inilah anakmu, aku berharap
kita akan kawin dan hidup bahagia selamanya (kata Boiratan), akan tetapi
raja menolak menjadikan Boiratan sebagai isterinya. Maafkan aku Boiratan, kau
tidak pantas kawin denganku, kekuasaanku lebih besar dari kekuasaan ayahmu
Lawataka di Banda. Sedih dengan perkataan raja Sahulau yang adalah ayah dari
anak Boiratan, kemudian Boiratan bersama anaknya menuju padewakang atau gusepa
miliknya. Boiratan dengan anaknya kembali berlayar dengan Padewakang dan
akhirnya mereka tiba pada suatu tempat dekat negeri Latuhalat yang bernama
“nama”. Kemudian menyusuri pantai melewati tanjung Nusaniwe, labuhan Seilale
dan Eri.
Sampailah mereka pada suatu tempat
yang bernama batu pasang-pasang atau batu anyo-anyo, kemudian mereka naik ke
darat menelusuri semak-semak dan sampailah mereka berdua di sebuah bukit antara
Gunung Nona dan Gunung Tola. Di tempat ini Boiratan menikam bambu yang
dibawanya, bambu yang ditancapkan putri Boiratan tumbuh hingga saat ini, bambu
tersebut disebut bambu suanggi. Tempat inilah yang disebut Armahusi yang adalah
negeri lama Amahusu. Boiratan adalah pendiri negeri lama Armahusi dan bergelar Boiratan Timbang Tanah.
Ternyata Armahusi tidak terlalu aman
untuk ditempati, banyak musuh yang hendak menyerang Armahusi. Mereka pun
meminta bantuan dari Arusi suatu perkampungan di Nusaniwe, dikirim Kapitan
Sounusa (Kapitan dari Mata Rumah Maniake) dan Kapitan Samajotu (Kapitan dari Mata
Rupah Soplanit). Perang pun terjadi, musuh dapat dihalau, saat sampai di sebuah
bukit karang, mereka kelelahan dan kehausan. Anak Boiratan menikam tombaknya
dan keluar air dari celah-celah batu karang, tempat itu dikenal dengan nama
“Wanitu” yang artinya air setan.
Setelah semua musuh dapat dikalahkan
mereka kembali lagi ke negeri lama Armahusi kemudian anak Boiratan yakni
Boikiki diakui para Kapitan untuk menjadi Raja atau latu di Armahusi. Anak
Boiratan kemudian kawin dengan anak perempuan Kapitan Leinussa (mata rumah
Mainake) dan bertambah banyak penghuni negeri lama Armahusi. Ingin mencari
wilayah baru untuk mereka dan keturunannya. Boikiki bersama istrinya berjalan
turun menyusur ke pantai dan berdiam di antara Waiila dan Waipia. Mereka
memakai gelar Latuwakang artinya raja yang datang dengan padewakang (gusepa).
Tempat dimana mereka tinggal sampai saat ini dikenal dengan nama Amahusu. Ama
berarti “Bapak” dan Husu berarti “berjalan menyusur” atau “mencuri”. Dengan
demikian Amahusu dapat diartikan sebagai tempat yang ditemui atau dimukim.
Pada suatu saat ketika kapitan Sounusa
sedang menjalankan tugasnya menjaga keamanan di negeri Amahusu. Kapitan Sounusa
bertemu dengan seorang kapitan dari negeri Hatalae bernama Niniahum. Perang
tanding pun terjadi dan setelah lama berperang tidak ada yang menang akhirnya kedua
kapitan sepakat berdamai. Ternyata kapitan dari Hatalae ini adalah seorang
wanita. Kedua kapitan ini bertemu dengan anak gadis dari seorang Kapitan Negeri
Soya bernama Ilang Trete. Gadis ini dibunuh oleh Kapitan Sounusa dan keduanya
meminum darah dari gadis tersebut sebagai tanda persaudaraan atau pela sehingga
antara orang Amahusu dan Hatalae di larang kawin. Dalam ikatan pela ini pihak
Hatalae sebagai “Silawanabessy” yang mewakili unsur perempuan, pihak Amahusu
sebagai Armalakabessy yang mewakili unsur laki-laki. Selain dengan Hatalae,
negeri Amahusu juga mempunyai hubungan persaudaraan dengan negeri Laha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar