Total Tayangan Halaman

Minggu, 11 Agustus 2019

EMPAT SULTAN DI MALUKU UTARA








Dahulu kala, di Maluku hidup seorang pemuda yang bernama Jafar Sidik. Ia tinggal di sebuah desa bernama Salero Ternate. Jauh di dalam hutan di sekitar wilayah itu terdapat sebuah telaga yang bernama Air Sentosa. Telaga itu berair sangat jernih dan di sekitarnya terdapat pohon-pohon yang amat rindang sehingga siapa saja yang datang ke sana akan betah duduk berlama-lama di tepi telaga itu.

Pada suatu hari Jafar Sidik duduk-duduk di tepi telaga Air Sentosa hingga senja. Ia begitu menikmati keindahan alam sekitar telaga itu. Ketika ia memandangi langit yang berwarna jingga yang begitu indah, tiba-tiba matanya tertuju kepada barisan cahaya warna warni. “Apakah itu pelangi itu?” tanyanya dalam hati. “Kok tak ada hujan, tapi ada pelangi”, gumam Jafar penasaran.

Cahaya itu semakin jelas, memanjang dan ujungnya berakhir di Air Sentosa, cahaya itu memang pelangi. Ternyata di atas lengkungan pelangi itu terbanglah tujuh wanita cantik dengan pakaian warna-warni sesuai warna pelangi, merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu. Ketujuh wanita itu tak lain adalah bidadari yang turun dari khayangan untuk mandi di Telaga Air Senotsa. Mereka kemudian melepas selendang dan sayapnya dan meletakkan di atas bebatuan yang ada di tepian Telaga Air Sentosa. 

Dengan gembira mereka mandi dan bermain-main air diselilingi canda tawa. Jafar Sidik dari balik batu besar diam-diam mengintip mereka, dia terpesona melihat kecantikan para bidadari itu terutama bidadari yang berpakaian ungu. Dalam hatinya muncul niat ingin menjadikan bidadari itu sebagai istrinya. Jafar kemudian mengambil selendang bewarna ungu serta sayap dengan sangat hati-hati agar tidak diketahui kemudian disembunyikan.

Setelah beberapa lama mereka mandi dan bersenang-senang, bidadari berbaju merah pung berkata “Adik-adik, hari menjelang malam, ayo kita segera pulang. Keenam bidadari lainnya mengiyakan dan mereka mulai bergegas mengambil selendang dan sayap masing-masing. “Cepat, pelangi hampir menghilang”, kata Bidadari berbaju hijau.
“Kakak, selendang dan sayapku tidak ada,” kata bidadari berbaju ungu tiba-tiba. Keenam bidadari yang lain kemudian turut membantu mencarinya, setelah dicari ke sana ke mari namun tak juga ditemukan.

Dengan berat hati bidadari baju merah pun berkata “Adikku, terpaksa kamu kami tinggal di sini, pelangi mulai memudar, kami harus kembali, jaga dirimua baik-baik”.
“Kakak, jangan tinggalkan aku …,” tangis bidadari berbaju ungu memohon. Namun keenam bidadari lainnya tetap pergi dan terbang meninggalkannnya, mereka kemudian lenyap bersama menghilangnya pelangi.

“Ayah, Ibu, kenapa nasibku begini?” tangis bidadari ungu sendirian. Ia terus menangis sambil melihat ke sana ke sini mencari selendang dan sayapnya. Jafar Sidik merasa kasihan mendengarnya kemudian menghampirinya. “Adikku, siapa namamu dan apa yang menimpamu?”, tanya Jafar pura-pura tak tahu. “Hari hampir malam, namun kenapa berada di sini seorang diri?” tanya Jafar Sidik lagi.

“Namaku Boki Nurfaesyah,” jawab bidadari itu. Selendang dan sayapku hilang tak tahu ke mana sehingga aku tidak dapat pulang bersama saudara-sauadaraku.
Jafar Sidik kemudian mengajak bidadari itu tinggal di rumahnya. Beberapa bulan kemudian, keduanya pun menikah. Mereka saling menyayangi, hidup mereka tentram dan damai dan bahagia. Kebahagiaan mereka terlebih lagi ketika lahirnya anak-anak mereka beberapa tahun kemudian. Anak-anak mereka dididik agar memegang teguh dan melaksanakan ajaran agama Islam. Sesama saudara harus hidup rukun dan saling menolong. Mereka pun tumbuh menjadi orang yang bertanggung jawab.

Suatu hari muncul pelangi tepat di atas rumah mereka, Boki Nurfaesyah kemudian naik ke atas bubungan rumah mereka untuk melihat pelangi, mengenang masa-masa kebersamaan dengan saudara-saudara dan keluarganya. Saat itulah Putri Boki menemukan selendang dan sayapnya yang disembunyikan Jafar Sidik di bubungan. Ada persanaan marah dan kecewa muncul di hati Putri Boki, namun apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur. Diambilnya selendang dan sayapnya, dengan berat hati dan tangisan ia kemudian berpamitan pada anak-anaknya untuk kembali ke kahyangan. Kebetulan saat itu Jafar Sidik sedang tak ada di rumah. Dengan isak tangis haru, anak-anaknya melarang. Namun tekad Putri Boki tak dapat dibendung lagi. Ia kemudian terbang ke kahyangan pergi meninggalkan mereka bersama menghilangnya pelangi.

Saat Jafar Sidik pulang, ia melihat anak-anaknya menangis. Ia kemudian bertanya “Ada apa anak-anakku?, apa yang terjadi?? Di mana ibu kalian??”. Mereka pun bercerita bahwa ibu mereka telah kembali ke kahyangan. Jafar Sidik sangat sedih, kehilangan orang yang sangat dicintainya. Kesedihan dia sedikit terobati ketika teringat kepada anak-anak mereka berdua, ia memiliki tugas dan tanggung jawab untuk membesarkan mereka.

Waktu terus berlalu dan akhirnya anak-anak Jafar Sidik tumbuh menjadi pemuda-pemuda yang gagah perkasa dan taat beragama. Jiwa sosialnya pun sangat tinggi. Saat Maluku Utara dibagi dalam susunan pemerintahan, putra-putra Jafar Sidik menjadi pemimpinnya. Putra pertamanya menjadi Sultan di Bacan, putra kedua menjadi Sultan di Jailolo, putra ketiga menjadi sultan di Tidore dan putra keempat menjadi sultan di Ternate. Dari merekalah kemudian lahir pemimpin-pemimpin Maluku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ASAL MULA DANAU TAPALA

Pulau Seram yang terletak di daerah Kabupaten Maluku Tengah, merupakan salah satu dari dua pulau besar di kawasan ini. Pulau ini terke...

Popular Posts