Pulau Ambon termasuk salah satu
pulau yang cukup indah di Indonesia. Pulau ini terdiri dari dua buah jazirah
yaitu Jazirah Lei Hitu dan Jazirah Lei Timur. Kota Ambon adalah ibu kota
Propinsi Maluku yang terletak di Jazirah Lei Timur. Kedua Jazirah itu
dihubungkan oleh satu tanah genting yang bernama Tanah Genting Baguala.
Tanah Genting tersebut selain merupakan penghubung antara kedua jazirah tersebut di atas juga merupakan penghubung antara Teluk Ambon dan Teluk Baguala. Konon kabarnya pada masa pendudukan tentara Jepang ketika berkobarnya perang dunia ke II oleh pihak tentara Jepang sudah diusahakan untuk memutuskan tanah genting Baguala ini, agar dapat dibuat satu terusan sehingga memudahkan pelayanan ke kota Ambon. Namun usaha ini mengalami kegagalan konon kabarnya ketika tanah genting Baguala itu digali untuk dijadikan terusan, keluarlah darah dari tempat penggalian tersebut. Menurut ceritera dahulu kala di teluk Baguala terdapat seekor buaya besar, panjangnya kira-kira 5 meter dan warna kulitnya kuning sehingga oleh penduduk di sana lalu diberi nama "Buaya Tembaga."
Buaya tersebut hidup di sana dengan penuh ketenteraman, karena penduduk sekitar Teluk Baguala tersebut sengaja membuat keadaan aman dan tentram bagi kehidupan buaya itu. Hal ini menandakan bahwa sesungguhnya buaya tersebut dipuja oleh penduduk sekitar teluk Baguala. Sementara di pesisir pantai selatan pulau Buru hiduplah di sana seekor ular besar. Ular ini hidup di atas sebatang pohon besar dan rindang yang oleh penduduk daerah Maluku terkenal dengan nama pohon Mintanggor, pohon ini senantiasa tumbuh di tepi pantai dan selalu condong ke arah laut.
Dengan adanya ular tersebut di sana
maka sangat mengganggu ketenteraman hidup dari semua penghuni terutama penghuni
laut sekitarnya. Segala jenis ikan, buaya dan lain-lain yang hidup di sekitar
daerah itu habis dimakan oleh ular tersebut. Demikian pula telah berkali-kali
terjadi pertarungan yang sangat sengit antara ular tersebut dengan beberapa
ekor buaya, namun akhirnya semua lawan dari ular itu dihabiskan satu demi satu.
Karena tidak ada seekor ikan maupun buaya dan sebagainya yang hidup di pesisir pulau Buru itu mampu berhadapan dengan ular tersebut, maka ikan-ikan, buaya dan sebagainya lalu mengadakan musyawarah besar untuk mencari jalan keluar agar dapat membasmi musuh mereka itu. Dalam musyawarah besar tersebut ada satu keterangan yang meyakinkan bahwa satu-satunya penantang yang mampu menghancurkan ular keparat itu hanyalah "Buaya Tembaga," dari teluk Baguala. Keterangan ini dapat meyakinkan peserta musyawarah akan kemampuan dari Buaya Tembaga, maka musyawarah besar itu lalu memutuskan agar segera mengirim utusan untuk bertemu dengan buaya tembaga menyampaikan maksud agar bersedia membantu untuk menghancurkan ular yang menjadi musuh mereka. Utusan ini sekaligus bertugas untuk menjemput buaya tembaga dari Teluk Baguala.
Disamping itu dibentuk pula panitia
penyambutan untuk menyambut kedatangan Buaya Tembaga di pesisir selatan pulau
Buru. Panitia penyambutan ini berkewajiban untuk menghimpunkan semua penghuni
laut pesisir Selatan pulau Buru untuk menyambut kedatangan Buaya Tembaga serta
beramah-tamah dengannya sebelum perang tanding antara ular dan Buaya Tembaga
tersebut diadakan.
Selesai musyawarah berangkatlah
utusan ke Teluk Baguala untuk bertemu dengan Buaya Tembaga, sementara panitia
penyambutan mulai berkemas untuk acara penyambutan.
Ketika utusan tersebut menghadap
Buaya Tembaga dan menyampaikan maksudnya, maka permintaan tersebut serta
"Buaya Tembaga" itu pula bersedia untuk berangkat bersama-sama utusan
menuju pantai Selatan pulau Buru. Setibanya mereka di sana Buaya Tembaga
disambut dalam satu upacara yang meriah dihadiri oleh semua penghuni laut
pesisir Selatan pulau Buru tersebut.
Mereka beramah-tamah, bersuka ria selama dua hari dengan Buaya Tembaga. Pada hari ketiga Buaya Tembaga mulai melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya. Ia berjalan/berenang kian ke mari mencari musuhnya itu dan ketika mendekati pohon mintanggor tadi mereka berdua lalu bertemu. Ular itu melilitkan ekornya pada batang pohon Mintanggor tadi sambil mengulurkan badannya ke laut seraya memagut Buaya Tembaga. Buaya Tembaga lalu memukul kepala ular dengan ekornya. Perang tanding pun terjadi antara ular dan Buaya Tembaga tersebut selama tiga hari di mana pertarungan itu disaksikan oleh semua penghuni laut di sekitarnya.
Ketika pertarungan itu sudah memasuki hari ketiga tiba-tiba ular itu dengan melilitkan ekornya keras-keras pada pohon mintanggor, lalu menarik badannya ke belakang seraya dengan suatu gerak yang sangat cepat bergerak memagut ke arah mata buaya tembaga tersebut. Namun buaya tembaga dapat menghindarkan seraya menghempaskan ekornya yang kekar kuat itu ke arah kepala ular yang sudah berkali-kali dipukul oleh buaya tersebut. Pukulan kali ini dari buaya adalah pukulan yang paling jitu dan keras, sehingga daya tahan ular melalui lilitan ekor pada batang pohon mintanggor itu, tak mampu lagi, akibatnya ular tersebut terhempas ke laut lepas dan menemukan ajalnya.
Melihat keadaan demikian semua penghuni laut yang sedang asyik menyaksikan pertarungan itu serentak bersorak-sorai bergembira menyaksikan kehancuran musuh keparat itu. Mereka bersuka ria mengelukan-elukan buaya tembaga atas kemenangan yang perkasa itu. Kemudian seluruh penghuni laut pesisir pantai Selatan pulau Buru kembali mengadakan musyawarah. Musyawarah kali ini bertujuan untuk membahas hadiah apakah gerangan yang patut dipersembahkan kepada buaya tembaga atas segala jasa baiknya itu, sehingga mereka telah terhindar dari malapetaka yang senantiasa ditimbulkan oleh ular tadi.
Musyawarah itu akhirnya berkesimpulan bahwa mereka patut memberikan penghargaan berupa kenang-kenangan yang setimpal dengan jasa buaya tembaga yakni usaha untuk menambah penghuni teluk Baguala, agar buaya tembaga di pertuan di sana. Dengan demikian maka oleh musyawarah diambil sebuah tagalaya (besek) besar dan kedalam tegalayanya diisi dengan beberapa jenis ikan seperti ikan parang-parang, ikan make, ikan papere, ikan salmaneti, kemudian hadiah tersebut dipersembahkan kepada Buaya Tembaga untuk dibawa sebagai kenang-kenangan di Teluk Baguala.
Setelah itu maka Buaya Tembaga pun
bertolak kembali menuju teluk Baguala, dimana pada tempat itulah tagalaya
(besek) persembahan tadi diletakkan. Sejak itu maka berkembang biaklah
jenis-jenis ikan tadi di dalam Teluk Baguala yang tadi-tadinya tidak pernah ada
jenis ikan semacam itu di sana.
Kini ikan jenis itu sangat banyak terdapat dalam teluk tersebut. Malah ada kepercayaan dari penduduk desa-desa sekeliling teluk tersebut bahwa bilamana pada pantai sesuatu desa di sana buaya tembaga itu timbul dan menampakkan dirinya, maka masyarakat desa itu lalu yakin bahwa sehari dua lagi jenis-jenis ikan tersebut diatas akan menyerbu memasuki pelabuhan desa tersebut. Sehingga masyarakat desa tersebut mulai bersiap-siap menangkap ikan-ikan jenis itu sebanyak-banyaknya dan dijual sebagai salah satu sumber rezeki mereka.
Kepercayaan ini masih ada hingga saat ini. Orang lalu percaya bahwa kehadiran
Buaya Tembaga merupakan pertanda kehadiran reziki. Kini jelas nampak bahwa
kenang-kenangan yang diperoleh Buaya Tembaga tadi, telah menempatkan Buaya
Tembaga itu sendiri pada satu posisi yang penting, di mana ia dipuja
dihormati oleh penduduk sekitar teluk Baguala karena kehadirannya senantiasa
membawa keuntungan atau reziki pada penduduk Baguala.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar