Dahulu kala di Utara Kepulauan Maluku terdapat suatu desa yang biasa
disebut Desa Tobelo. Salah satu penduduk desa itu adalah sebuah keluarga kecil
yang terdiri dari ayah, ibu dan dua anak yakni O Bia Moloku seorang gadis cilik
yang cantik dan O Bia Mokara, adik laki-lakinya yang tampan.
Keluarga kecil itu hidup bahagia.
Sang Ayah bekerja sebagai nelayan dan tentu sering pergi melaut selama beberapa
hari. Sebagian hasil tangkapannya dimakan dan sebagian lagi dijual ke pasar.
Jika ayahnya pergi, O Bia Moloku dan O Bia Mokara tinggal bersama ibunya.
Kadang jika ibunya pergi ke kebun, O Bia Molukulah yang menjaga adiknya.
Seperti biasa, sebelum pergi melaut,
sang Ayah akan meninggalkan persediaan makanan yang cukup. Salah satunya adalah
telur ikan pepayana yang menjadi menu favoritnya. Ia berharap saat pulang
nanti, telur ikan itu masih ada untuk ia santap.
"Hati-hati Pak, jangan terlalu
lama melautnya. Kami semua akan merindukanmu," pesan sang istri. Setelah
memeluk dan mencium kedua anak- nya, pria itu pun pergi.
Keesokan harinya, sang istri bersiap
untuk pergi ke kebun. Setelah menyiapkan makanan untuk kedua anaknya ia
berpesan, "Anak-anak, Ibu pergi sebentar. Jika kalian lapar, makanan
kalian sudah slap. Tapi ingat, telur ikan itu jangan dimakan, ya."
"Memangnya kenapa, Bu? Kenapa
kami tak boleh memakannya?" tanya O Bia Moloku.
"Sesuatu yang buruk bisa
terjadi. Sudahlah, turuti saja pesan Ibu," jawab sang ibu.
Setelah tinggal berdua, O Bia Moloku
mengajak adiknya bermain. Mereka bermain sampai siang. O Bia Mokara mulai
merengek karena lapar. Sambil menangis, ia menarik tangan kakaknya ke dapur dan
menunjuk telur ikan.
"Jangan, Dik. Ibu bilang kita
tak boleh memakan telur ikan itu. Kamu makan yang lain saja, ya?" bujuk O
Bia Moloku. Tapi O Bia Mokara menolak, tangisnya semakin keras terus merengek
meminta telur ikan.
O Bia Moloku mencoba menyuapi
adiknya dengan lauk lain. Namun adiknya malah memuntahkannya. O Bia Mokara
tetap bersikukuh ingin makan telur ikan. Karena tak tega, O Bia Moloku
menyerah. Diambilnya telur ikan itu untuk lauk adiknya. Dalam sekejap, telur
ikan itu habis tak bersisa. O Bia Mokara tertawa gembira. Hatinya senang karena
perutnya telah kenyang. Ia pun kembali bermain bersama kakaknya.
"Ibu pulang! Hore...,"
teriak O Bia Moloku menyambut sang ibu. Sang Ibu tersenyum kelelahan melihat
tingkah anak-anaknya. Ia segera menggendong O Bia Mokara yang tampak rindu
padanya. Dengan penuh kasih, disusuinya anak bungsunya itu. Sambil menyusui, ia
bersenandung. Namun, senandungnya langsung berhenti saat ia melihat sisa telur
ikan di mulut O Bia Mokara.
"Apa yang kau lakukan, Nak? Kau
menyuapi adikmu dengan telur ikan?" tanyanya pada O Bia Moloku dengan
wajah tegang dan tubuh gemetar menahan amarah.
"Iya, Bu. Ia menangis terus
meminta telur ikan itu. Akhirnga aku berikan saja," jawab O Bia Moloku
Mendengar jawaban itu, sang Ibu
langsung melepaskan O Bia Mokara dari pelukannya. Ia berlari keluar rumah
meninggalkan anak-anaknya. O Bia Moloku kebingungan. Digendongnya adiknya lalu
pergi menyusul ibunya.
"Ibu... Ibu... berhentilah.
Adik menangis terus, ia minta susu," serunya.
"Pulanglah lalu peras daun
katang-katang. Kau akan mendapatkan air susu dari daun itu," jawab ibunya
sambil terus berlari.
O Bia Moloku menurut dan pulang ke
rumah lalu memeras daun katang-katang. Setelah memberikan perasan daun katang-katang
tiga kali, ia pergi mencari ibunya. Dilihatnya sang ibu hendak menerjunkan diri
ke laut.
"Ibu... Ibu... jangan
tinggalkan kami," teriak O Bia Moloku.
Sang ibu tak menghiraukan panggilan
anaknya. Ia terjun dan menemukan sebuah batu yang besar. Karena besarnya,
sebagian batu itu timbul di permukaan laut. Wanita itu naik ke atas batu
tersebut dan berkata, "Bukalah supaya aku dapat masuk."
Ajaib, batu itu terbelah dua dan ibu
tersebut masuk ke dalam. Lalu ia berkata, "Tutuplah." Batu itu pun
menutup dengan rapat, menelan tubuh sang ibu.
O Bia Moloku dan O Bia Mokara hanya
dapat menangisi kepergian ibunya. Kedua anak itu menyesal telah membuat ibu
mereka marah. Entah apa yang akan mereka katakan saat ayah mereka pulang nanti.
Pesan dari cerita ini adalah ingatlah selalu pesan dan nasihat dari orangtua.
Hormati mereka seumur hidupmu.