Total Tayangan Halaman

Rabu, 28 Agustus 2019

O BIA MOLOKU DAN O BIA MOKARA


Dahulu kala di Utara Kepulauan Maluku terdapat suatu desa yang biasa disebut Desa Tobelo. Salah satu penduduk desa itu adalah sebuah keluarga kecil yang terdiri dari ayah, ibu dan dua anak yakni O Bia Moloku seorang gadis cilik yang cantik dan O Bia Mokara, adik laki-lakinya yang tampan.

Keluarga kecil itu hidup bahagia. Sang Ayah bekerja sebagai nelayan dan tentu sering pergi melaut selama beberapa hari. Sebagian hasil tangkapannya dimakan dan sebagian lagi dijual ke pasar. Jika ayahnya pergi, O Bia Moloku dan O Bia Mokara tinggal bersama ibunya. Kadang jika ibunya pergi ke kebun, O Bia Molukulah yang menjaga adiknya.

Seperti biasa, sebelum pergi melaut, sang Ayah akan meninggalkan persediaan makanan yang cukup. Salah satunya adalah telur ikan pepayana yang menjadi menu favoritnya. Ia berharap saat pulang nanti, telur ikan itu masih ada untuk ia santap.
"Hati-hati Pak, jangan terlalu lama melautnya. Kami semua akan merindukanmu," pesan sang istri. Setelah memeluk dan mencium kedua anak- nya, pria itu pun pergi.

Keesokan harinya, sang istri bersiap untuk pergi ke kebun. Setelah menyiapkan makanan untuk kedua anaknya ia berpesan, "Anak-anak, Ibu pergi sebentar. Jika kalian lapar, makanan kalian sudah slap. Tapi ingat, telur ikan itu jangan dimakan, ya."
"Memangnya kenapa, Bu? Kenapa kami tak boleh memakannya?" tanya O Bia Moloku.
"Sesuatu yang buruk bisa terjadi. Sudahlah, turuti saja pesan Ibu," jawab sang ibu.

Setelah tinggal berdua, O Bia Moloku mengajak adiknya bermain. Mereka bermain sampai siang. O Bia Mokara mulai merengek karena lapar. Sambil menangis, ia menarik tangan kakaknya ke dapur dan menunjuk telur ikan.
"Jangan, Dik. Ibu bilang kita tak boleh memakan telur ikan itu. Kamu makan yang lain saja, ya?" bujuk O Bia Moloku. Tapi O Bia Mokara menolak, tangisnya semakin keras terus merengek meminta telur ikan.

O Bia Moloku mencoba menyuapi adiknya dengan lauk lain. Namun adiknya malah memuntahkannya. O Bia Mokara tetap bersikukuh ingin makan telur ikan. Karena tak tega, O Bia Moloku menyerah. Diambilnya telur ikan itu untuk lauk adiknya. Dalam sekejap, telur ikan itu habis tak bersisa. O Bia Mokara tertawa gembira. Hatinya senang karena perutnya telah kenyang. Ia pun kembali bermain bersama kakaknya.

"Ibu pulang! Hore...," teriak O Bia Moloku menyambut sang ibu. Sang Ibu tersenyum kelelahan melihat tingkah anak-anaknya. Ia segera menggendong O Bia Mokara yang tampak rindu padanya. Dengan penuh kasih, disusuinya anak bungsunya itu. Sambil menyusui, ia bersenandung. Namun, senandungnya langsung berhenti saat ia melihat sisa telur ikan di mulut O Bia Mokara.

"Apa yang kau lakukan, Nak? Kau menyuapi adikmu dengan telur ikan?" tanyanya pada O Bia Moloku dengan wajah tegang dan tubuh gemetar menahan amarah.
"Iya, Bu. Ia menangis terus meminta telur ikan itu. Akhirnga aku berikan saja," jawab O Bia Moloku
Mendengar jawaban itu, sang Ibu langsung melepaskan O Bia Mokara dari pelukannya. Ia berlari keluar rumah meninggalkan anak-anaknya. O Bia Moloku kebingungan. Digendongnya adiknya lalu pergi menyusul ibunya.
"Ibu... Ibu... berhentilah. Adik menangis terus, ia minta susu," serunya.
"Pulanglah lalu peras daun katang-katang. Kau akan mendapatkan air susu dari daun itu," jawab ibunya sambil terus berlari.

O Bia Moloku menurut dan pulang ke rumah lalu memeras daun katang-katang. Setelah memberikan perasan daun katang-katang tiga kali, ia pergi mencari ibunya. Dilihatnya sang ibu hendak menerjunkan diri ke laut.
"Ibu... Ibu... jangan tinggalkan kami," teriak O Bia Moloku.
Sang ibu tak menghiraukan panggilan anaknya. Ia terjun dan menemukan sebuah batu yang besar. Karena besarnya, sebagian batu itu timbul di permukaan laut. Wanita itu naik ke atas batu tersebut dan berkata, "Bukalah supaya aku dapat masuk."

Ajaib, batu itu terbelah dua dan ibu tersebut masuk ke dalam. Lalu ia berkata, "Tutuplah." Batu itu pun menutup dengan rapat, menelan tubuh sang ibu.
O Bia Moloku dan O Bia Mokara hanya dapat menangisi kepergian ibunya. Kedua anak itu menyesal telah membuat ibu mereka marah. Entah apa yang akan mereka katakan saat ayah mereka pulang nanti.
Pesan dari cerita ini adalah ingatlah selalu pesan dan nasihat dari orangtua. Hormati mereka seumur hidupmu.

Minggu, 18 Agustus 2019

LEGENDA TANIFAL DI PULAU BURU

Tifu hingga saat ini masih meninggalkan satu kenangan cerita yang sampai sekarang menjadi buah bibir penduduk sekitarnya. Tifu terletak dalam sebuah teluk kecil yang indah dan tenang. Di sebelah Utara desa Tifu sebuah gunung yang tidak begitu tinggi. Gunung itu bernama gunung Garuda, yang bilamana dipandang dari arah pelabuhan, warna gunung itu nampaknya kemerahan-merahan.

Pada gunung itu terdapat dua buah liang batu yang letaknya agak berjauhan satu dengan yang lainnya. Dalam kedua liang batu tersebut berdiamlah sepasang burung buas, yaitu jenis burung yang terbesar di pulau Buru. Karena demikian besar burung itu sehinga bilamana burung itu terbang melewati desa Tifu, maka hampir sebagian desa itu menjadi gelap akibat bayangan dari burung besar itu. Burung itu tidak tinggal dalam satu sarang tetapi masing-masing pada sarangnya yaitu lubang atau liang batu tadi.

Demikian sepasang burung itu tidak sama ganasnya. Yang paling ganas ialah burung betina, karena betinalah yang paling giat mencari mangsa. Makanan dari burung tersebut adalah manusia, tetapi agak aneh pula manusia yang menjadi mangsa burung itu bukanlah manusia yang menghuni di sekitar daerah itu. Makanan yang senantiasa diincar oleh burung betina itu ialah bilamana ada kapal yang berkebangsaan asing berlayar menuju darah dan bermaksud akan mendarat, maka keluarlah burung betina dari liang batu tadi terbang menuju kapal tersebut. Pada saat burung tersebut mendekati kapal itu maka diangkatlah kapal tersebut beserta muatan manusia, tegasnya kapal dengan segala isinya lalu diterbangkan ke sarangnya, sambil berteriak menggemparkan bumi sekitarnya sebagai tanda kegirangan.

Di sanalah di atas gunung itu kapal beserta seluruh isinya menjadi mangsa lezat dari sepasang burung tersebut. Keadaan atau peristiwa ini tidak terjadi hanya sekali tetapi terjadi beberapa kali. Akibatnya berita ini tersiar kemana-mana serta sempat didengar oleh para pelaut Cina. Mendengar berita yang aneh tetapi menakutkan ini mereka menjadi takut. Sejak dahulu kala orang Cina sudah tiba di Maluku dan bilamana mereka ke Maluku sering mereka lewat di sana. Berita yang aneh dan menakutkan itu senantiasa mereka pikirkan. Mereka berusaha untuk mendapatkan satu cara yang baik agar burung celaka itu dapat dimusnahkan. Sebab mereka harus tinggal memilih apakah burung itu harus dihancurkan atau mereka pasti dihancurkan oleh burung itu bilaman mereka nanti lewat di sana.

Pada suatu ketika berlayarlah sebuah kapal layar berkebangsaan Cina di mana kapal itu pasti akan melewati daerah itu dan mereka tentu akan berhadapan dengan malapetaka tersebut. Sejak kapal itu meninggalkan pelabuhan di daratan Cina mereka berusaha keras agar dapat menemukan satu cara yang ampuh untuk menghadapi burung itu bilamana pada saatnya mereka memasuki perairan tersebut. Sebelum mereka dalam hal ini kapal tadi memasuki parairan Tifu sudah ditemui satu cara sehingga nakhoda kapal memberikan komando kepada semua awak kapal agar meeka nanti berusaha untuk membunuh burung celaka itu. Kini kapal itu berlayar dengan megahnya makin lama mendekati perairan Tifu.

Ketika kapal tersebut sudah mendekati pantai Buru Selatan terdengarlah komando bahwa semua awak kapal harus naik ke atas geladak sambil membawa senjata masing-masing berupa sebatang besi yang panjangnya kurang lebih 3 meter dan ujungnya sangat runcing. Selain itu dikomandokan oleh nakhoda bahwa semua logam yang terdapat pada semua tiang kapal harus dipanaskan. Ketika kapal itu mulai memasuki parairan Buru Selatan, maka keluarlah sang burung betina itu dari liangnya terbang dengan perkasa disertai suaranya yang besar dan ganas itu menuju kapal tersebut. Waktu itu semua awak kapal dengan senjata-senjata mereka sudah siap di atas geladak kapal untuk menghadapi setiap kemungkinan. Pada saat burung ganas itu mendekati kapal dan bergerak untuk mengangkat kapal tersebut, secepat kilat tanpa komando semua awak kapal tanpa kecuali melepaskan besi-besi tajam tadi ke arah burung itu.

Akibatnya untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak burung yang perkasa itu lalu jatuh dan menemui ajalnya ditepi pantai pelabuhan Tifu. Mayat burung itu, lalu berubah menjadi "Tanifal" yaitu sebidang daratan berpasir putih halus dikelilingi air laut di tepi pantai yang hanya dapat nampak bilamana air laut mengalami pasang surut. Sedang kedua biji mata dari burung tadi berobah membentuk dua buah batu besar yang dihiasi rumput bagaikan dua buah pulau kecil yang sangat indah dipandang mata, melambangkan keperkasaan burung tadi, dimana hingga saat ini pulau tersebut dianggap keramat. Bagaimana sifat keramat dari kedua pulau ini pernah dialami oleh sebuah kapal KPM. Ketika kapal KPM itu berlatih di Tifu yang hanya diletakkan di atas salah satu pulau kecil tersebut, pada saat kapal akan berangkat jangkar itu tidak dapat diangkat, akhirnya harus dipotong.

Menurut cerita segala korban akibat keganasan burung tersebut berupa sisa besi dan lain-lain hingga kini masih terdapat di gunung Garuda. Pada mulanya tempat liang batu yang menjadi sarang burung tersebut dapat atau sempat didatangi orang. Namun akibatnya erosi, maka jalan menuju ke tempat itu sekarang menjadi sangat sulit penuh dengan batu-batu karang yang tajam, tinggi apalagi sangat keramat. Menurut penduduk di sana bahwa goheba atau burung elang yang kini terdapat di sana merupakan keturunan dari sepasang burung garuda tadi. Bilamana pada suatu hari burung-burung goheba itu beterbangan mondar-mandir sambil berteriak keliling desa/negeri Tifu, itu memberikan tanda bahwa para nelayan yang melaut bakalan mendapat hasil tangkapan yang sangat banyak.

Rabu, 14 Agustus 2019

LEGENDA BUAYA TEMBAGA

Pulau Ambon termasuk salah satu pulau yang cukup indah di Indonesia. Pulau ini terdiri dari dua buah jazirah yaitu Jazirah Lei Hitu dan Jazirah Lei Timur. Kota Ambon adalah ibu kota Propinsi Maluku yang terletak di Jazirah Lei Timur. Kedua Jazirah itu dihubungkan oleh satu tanah genting yang bernama Tanah Genting Baguala.

Tanah Genting tersebut selain merupakan penghubung antara kedua jazirah tersebut di atas juga merupakan penghubung antara Teluk Ambon dan Teluk Baguala. Konon kabarnya pada masa pendudukan tentara Jepang ketika berkobarnya perang dunia ke II oleh pihak tentara Jepang sudah diusahakan untuk memutuskan tanah genting Baguala ini, agar dapat dibuat satu terusan sehingga memudahkan pelayanan ke kota Ambon. Namun usaha ini mengalami kegagalan konon kabarnya ketika tanah genting Baguala itu digali untuk dijadikan terusan, keluarlah darah dari tempat penggalian tersebut. Menurut ceritera dahulu kala di teluk Baguala terdapat seekor buaya besar, panjangnya kira-kira 5 meter dan warna kulitnya kuning sehingga oleh penduduk di sana lalu diberi nama "Buaya Tembaga."

Buaya tersebut hidup di sana dengan penuh ketenteraman, karena penduduk sekitar Teluk Baguala tersebut sengaja membuat keadaan aman dan tentram bagi kehidupan buaya itu. Hal ini menandakan bahwa sesungguhnya buaya tersebut dipuja oleh penduduk sekitar teluk Baguala. Sementara di pesisir pantai selatan pulau Buru hiduplah di sana seekor ular besar. Ular ini hidup di atas sebatang pohon besar dan rindang yang oleh penduduk daerah Maluku terkenal dengan nama pohon Mintanggor, pohon ini senantiasa tumbuh di tepi pantai dan selalu condong ke arah laut.

Dengan adanya ular tersebut di sana maka sangat mengganggu ketenteraman hidup dari semua penghuni terutama penghuni laut sekitarnya. Segala jenis ikan, buaya dan lain-lain yang hidup di sekitar daerah itu habis dimakan oleh ular tersebut. Demikian pula telah berkali-kali terjadi pertarungan yang sangat sengit antara ular tersebut dengan beberapa ekor buaya, namun akhirnya semua lawan dari ular itu dihabiskan satu demi satu.

Karena tidak ada seekor ikan maupun buaya dan sebagainya yang hidup di pesisir pulau Buru itu mampu berhadapan dengan ular tersebut, maka ikan-ikan, buaya dan sebagainya lalu mengadakan musyawarah besar untuk mencari jalan keluar agar dapat membasmi musuh mereka itu. Dalam musyawarah besar tersebut ada satu keterangan yang meyakinkan bahwa satu-satunya penantang yang mampu menghancurkan ular keparat itu hanyalah "Buaya Tembaga,"  dari teluk Baguala. Keterangan ini dapat meyakinkan peserta musyawarah akan kemampuan dari Buaya Tembaga, maka musyawarah besar itu lalu memutuskan agar segera mengirim utusan untuk bertemu dengan buaya tembaga menyampaikan maksud agar bersedia membantu untuk menghancurkan ular yang menjadi musuh mereka. Utusan ini sekaligus bertugas untuk menjemput buaya tembaga dari Teluk Baguala.

Disamping itu dibentuk pula panitia penyambutan untuk menyambut kedatangan Buaya Tembaga di pesisir selatan pulau Buru. Panitia penyambutan ini berkewajiban untuk menghimpunkan semua penghuni laut pesisir Selatan pulau Buru untuk menyambut kedatangan Buaya Tembaga serta beramah-tamah dengannya sebelum perang tanding antara ular dan Buaya Tembaga tersebut diadakan.

Selesai musyawarah berangkatlah utusan ke Teluk Baguala untuk bertemu dengan Buaya Tembaga, sementara panitia penyambutan mulai berkemas untuk acara penyambutan.

Ketika utusan tersebut menghadap Buaya Tembaga dan menyampaikan maksudnya, maka permintaan tersebut serta "Buaya Tembaga" itu pula bersedia untuk berangkat bersama-sama utusan menuju pantai Selatan pulau Buru. Setibanya mereka di sana Buaya Tembaga disambut dalam satu upacara yang meriah dihadiri oleh semua penghuni laut pesisir Selatan pulau Buru tersebut.

Mereka beramah-tamah, bersuka ria selama dua hari dengan Buaya Tembaga. Pada hari ketiga Buaya Tembaga mulai melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya. Ia berjalan/berenang kian ke mari mencari musuhnya itu dan ketika mendekati pohon mintanggor tadi mereka berdua lalu bertemu. Ular itu melilitkan ekornya pada batang pohon Mintanggor tadi sambil mengulurkan badannya ke laut seraya memagut Buaya Tembaga. Buaya Tembaga lalu memukul kepala ular dengan ekornya. Perang tanding pun terjadi antara ular dan Buaya Tembaga tersebut selama tiga hari di mana pertarungan itu disaksikan oleh semua penghuni laut di sekitarnya.

Ketika pertarungan itu sudah memasuki hari ketiga tiba-tiba ular itu dengan melilitkan ekornya keras-keras pada pohon mintanggor, lalu menarik badannya ke belakang seraya dengan suatu gerak yang sangat cepat bergerak memagut ke arah mata buaya tembaga tersebut. Namun buaya tembaga dapat menghindarkan seraya menghempaskan ekornya yang kekar kuat itu ke arah kepala ular yang sudah berkali-kali dipukul oleh buaya tersebut. Pukulan kali ini dari buaya adalah pukulan yang paling jitu dan keras, sehingga daya tahan ular melalui lilitan ekor pada batang pohon mintanggor itu, tak mampu lagi, akibatnya ular tersebut terhempas ke laut lepas dan menemukan ajalnya.

Melihat keadaan demikian semua penghuni laut yang sedang asyik menyaksikan pertarungan itu serentak bersorak-sorai bergembira  menyaksikan kehancuran musuh keparat itu. Mereka bersuka ria mengelukan-elukan buaya tembaga atas kemenangan yang perkasa itu. Kemudian seluruh penghuni laut pesisir pantai Selatan pulau Buru kembali mengadakan musyawarah. Musyawarah kali ini bertujuan untuk membahas hadiah apakah gerangan yang patut dipersembahkan kepada buaya tembaga atas segala jasa baiknya itu, sehingga mereka telah terhindar dari malapetaka yang senantiasa ditimbulkan oleh ular tadi.

Musyawarah itu akhirnya berkesimpulan bahwa mereka patut memberikan penghargaan berupa kenang-kenangan yang setimpal dengan jasa buaya tembaga yakni usaha untuk menambah penghuni teluk Baguala, agar buaya tembaga di pertuan di sana. Dengan demikian maka oleh musyawarah diambil sebuah tagalaya (besek) besar dan kedalam tegalayanya diisi dengan beberapa jenis ikan seperti ikan parang-parang, ikan make, ikan papere, ikan salmaneti, kemudian hadiah tersebut dipersembahkan kepada Buaya Tembaga untuk dibawa sebagai kenang-kenangan di Teluk Baguala.

Setelah itu maka Buaya Tembaga pun bertolak kembali menuju teluk Baguala, dimana pada tempat itulah tagalaya (besek) persembahan tadi diletakkan. Sejak itu maka berkembang biaklah jenis-jenis ikan tadi di dalam Teluk Baguala yang tadi-tadinya tidak pernah ada jenis ikan semacam itu di sana.

Kini ikan jenis itu sangat banyak terdapat dalam teluk tersebut. Malah ada kepercayaan dari penduduk desa-desa sekeliling teluk tersebut bahwa bilamana pada pantai sesuatu desa di sana buaya tembaga itu timbul dan menampakkan dirinya, maka masyarakat desa itu lalu yakin bahwa sehari dua lagi jenis-jenis ikan tersebut diatas akan menyerbu memasuki pelabuhan desa tersebut. Sehingga masyarakat desa tersebut mulai bersiap-siap menangkap ikan-ikan jenis itu sebanyak-banyaknya dan dijual sebagai salah satu sumber rezeki mereka. 

Kepercayaan ini masih ada hingga saat ini. Orang lalu percaya bahwa kehadiran Buaya Tembaga merupakan pertanda kehadiran reziki. Kini jelas nampak bahwa kenang-kenangan yang diperoleh Buaya Tembaga tadi, telah menempatkan Buaya Tembaga itu sendiri  pada satu posisi yang penting, di mana ia dipuja dihormati oleh penduduk sekitar teluk Baguala karena kehadirannya senantiasa membawa keuntungan atau reziki pada penduduk Baguala.

ASAL MULA DANAU TAPALA

Pulau Seram yang terletak di daerah Kabupaten Maluku Tengah, merupakan salah satu dari dua pulau besar di kawasan ini. Pulau ini terke...

Popular Posts